Pondok jermal dipinggir sungai yang terus ditunggu sepanjang tahun oleh Haji Ismail, nelayan tua Sungai Meureudu. |
Di sini dia melabuhkan tangguk jermalnya untuk menangkap udang atau ikan-ikan kecil guna menyambung rezeki di hujung-hujung usianya.
Usianya
kini sudah melangkah 85 tahun. Tenaganya tidak sekuat dulu seperti ketika
mudanya bilamana perairan Selat Melaka sepanjang pesisiran tanah Aceh
diharunginya.
Rangka-rangka tulang terbonjol keluar dan lekuk-lekuk dalam pada daging di pangkal lehernya menghadirkan bukti bagaimana dia bekerja keras membanting tulang sepanjang mudanya untuk mencari rezeki.
Rangka-rangka tulang terbonjol keluar dan lekuk-lekuk dalam pada daging di pangkal lehernya menghadirkan bukti bagaimana dia bekerja keras membanting tulang sepanjang mudanya untuk mencari rezeki.
Lingkaran wajah Haji Ismail, nelayan tua Aceh yang demikian setia dengan alam lautnya. |
Tangkul jermal nelayan senja Aceh |
Haji Ismail adalah di antara beberapa kerat dari sisa nelayan senja di
Desa Meureudu yang terus setia dengan laut. Pondok jermal di pinggir sungai itu
adalah sebahagian dari dunia yang penting baginya. Setiap hari dia di sini
menunggu kemunculan rezeki-rezeki kecil masuk ke dalam tangkul jermalnya.
Saya meminta nelayan tua itu menunjukan kaedah jermalnya. Dia tidak banyak
bertanya. Terus saja dia memutar silang-silang kayu batang pemutar jermalnya
menggunakan kedua-dua tangan dan kakinya.
Nelayan tua Meureudu ini masih bertenaga memutar tangkul jermalnya di Sungai Meureudu. |
Tangguk jaring jermal 7 X 7 meter di depan terangkat. Cuma seekor dua anak
ikan sebesar jari yang muncul. Rezekinya belum lagi datang. Mungkin bila air
menyorong surut sejam nanti, banyak ikan yang akan masuk ke dalam tangguk
jermalnya.
Saya melihat wajahnya dari dekat. Irasnya penuh tenang dan sabar meski
kesempitan hidup dengan rezeki yang serba kekurangan melingkari kehidupannya
setiap hari sepanjang tahun.
Saya menelusuri sosok tubuh keringnya. Terlihat satu gelang putih agak lusuh
melekat di pergelangan tangan kirinya. “Ini gelang apa?” saya bertanya.
“Ini gelang ketika saya naik haji dulu,” jawab nelayan tua itu.
Meskipun dia menunaikan fardhu haji tahun 1998 dulu, namun gelang tanda
jemaah haji itu tidak pernah lucut atau tanggal dari pergelangan tangannya
sejak hari pertama dia menyarungkannya 16 tahun dulu sehingga hari ini.
Dan gelang putih yang semakin lusuh itu menjadi bukti bahawa nelayan tua
dari Desa Meureudu ini telah menyahut seruan haji ke Baitullah hasil
kesungguhan dan kerja kerasnya mencari rezeki sebagai seorang nelayan.
Setelah diangkat cuma seekor dua anak-anak ikan sebesar jari yang melenting-melenting di atas jaring jermal. |
Nelayan tua Meureudu, Haji Ismail, bersama alat tangkul jermalnya di pinggir sungai yang tenang. |
No comments:
Post a Comment