Wednesday, October 5, 2011
Gara-Gara Cilik MEDAN
Monday, October 3, 2011
KEMBARA LHOKSEUMAWE 2
Di belakang bangsal dan pondok-pondok berbumbung atap yang berselerak di pantai ini tercatat semua cerita keloh kesah dan kegembiran masayarakat nelayan Aceh.
Kami memasuki kawasan deretan rumah-rumah yang dibina di pesisiran pantai di bahagian belakang pasar umum kota Lhokseumawe. Anak-anak kecil bermain riang di lorong berlantai papan di tengah penempatan yang unik ini. Anak-anak ini tidak tahu dan tidak mengerti ancaman ekonomi yang mungkin melanda Lhokseumawe setahun dua lagi selepas tutupnya perusahaan gas asli dan baja urea di kota mereka.
KEMBARA LHOKSEUMAWE
Foto terkini pantai di belakang pasar kota Lhokseumawe
Mungkinkah warga Lhokseumawe terpaksa menggantung nasib mereka pada Selat Melaka selepas pupusnya khazanah gas asli mereka?
Sudah lebih dua tahun saya berulang alik setiap bulan dari Kuala Lumpur ke Banda Aceh. Dan dalam tempoh tersebut belum terdetik di hati kecil saya untuk bertandang ke Lhokseumawe, sebuah kota yang menyimpan banyak sejarah bagi Aceh dan Nusantara Melayu sendiri.
Lhokseumawe terletak tujuh kilometer dari Samudera Pasai, sebuah kota tua yang dikuasai oleh Merah Silu, seorang raja beragama Hindu yang kemudian memeluk Islam dengan gelaran Sultan Malikus-Saleh’
Dari tanah Aceh di Samudera Pasai, sebenarnya Islam mula diperkembangkan ke wilayah Nusantara Melayu pada penghujung kurun ke-12. Sultan Melaka, Parameswara, dan seluruh rakyat Melayu, kemudiannya pada kurun ke-13 turut memeluk agama Islam hasil dari tertegaknya Islam di Aceh. Dan lantas itu Aceh dikenal sebagai Tanah Serambi Mekah.
Cerita-cerita tua penuh nostalgia ini diungkapkan oleh Tun Seri Lanang dalam manuskrip terulung Sejarah Melayu. Dan Tun Seri Lalang sendiri menceritakan bagaimana Melayu itu bermula dengan sejarah Tanah Pasai dan Bukit Seguntang.
Lhokseumawe hari ini menjadi nadi dan kota utama yang menggerakkan pertumbuhan ekonomi wilayah Aceh. Melalui kota inilah Aceh dan Indonesia sendiri mengeluarkan hasil gas asli cecair sejak hampir 25 tahun lepas.
Di kota ini juga Aceh mengeluarkan baja urea melalui perusahaan yang dilaksanakan di bawah unjuran pakatan negara-negara Asean, juga sejak 25 tahun dulu.
Kini simpanan gas asli Lhokseumawe dan perusahaan baja ureanya sampai di penghujungnya. Setahun lagi perusaan gas asli di Lhokseumawe dijangka akan berakhir setelah simpanannya kini semakin kering dan lupus. Hal yang sama juga diduga akan terpaksa dihadapi oleh perusahaan baja urueanya yang terletak bersebelahan di sebelah utara Lhokseumawe.
Apakah Lhokseumawe akan terus berupaya mempertahankan statusnya sebagai nadi penggerak utama ekonomi Aceh selepas berakhirnya riwayat industri gas asli dan urea mereka setahun lagi?
Tidak siapa yang tahu bagaimana nasib yang bakal dilalui oleh masyarakat Lhokseumawe selepas itu. Atau mungkin warga kota yang unik ini akan terpaksa mengadu nasib mereka kepada Selat Melaka yang sejak seribu tahun dulu tidak pernah menghampakan mereka dengan hasil tangkapan laut yang tidak pernah putus-putus?