Breaking News

Wednesday, April 30, 2014

KEMBARA ACEH: Indahnya Kehidupan Nelayan Kecil Pantai Meuraksa



 Lerai gelak riang dan ketawa sering memecah di pondok-pondok kecil pinggir pantai Meuraksa (Meraksa) tempat di mana penduduk desa kecil nelayan itu berkumpul setiap pagi dan petang.

Fenomena kehidupan sempit dengan pendapatan yang terlalu sedikit sudah sebati dengan diri ibu-ibu atau anak-anak kecil di desa terpencil ini.



Dua ibu di gubuk kecil di bawah lindungan pohon rhu di pantai Meuraksa, Meureudu, Aceh, berhadapan Selat Melaka.

Semangat bantu membantu kekal diwarisi masyarakat nelayan Aceh.

Perkampungan nelayan pantai ini terletak jauh di sudut mukim Meureudu (Merdu), Pidie Jaya, Aceh. Ia hampir tersembunyi dari dunia luar. Mukim Samalanga brjiran dengan Meureudu.

Pengunjung terpaksa melalui jalan-jalan kecil lima kilometer dari jalan utama lintas Banda Aceh ke Medan untuk menuju ke desa ini. Cuma penduduk tempatan yang mengetahui keberadaan Meuraksa.


Nylayan dan bot-bot mereka yang dibina khas dengan motif Aceh.

Mereka berganding bahu membuat persiapan untuk menarik bot ke darat.

Profil nelayan di antara dua generasi di Aceh
 Kabupaten Pidie Jaya yang menempatkan permukiman Panteraja, Meureudu, Samalanga, Peudada sehingga ke Jempa di Bireun merupakan sebuah jajahan di tanah Aceh yang duduk di bawah kepimpinan Tun Sri Lanang (Bendahara Tun Muhammad) antara 1613 sehingga 1659.

Setelah Johor ditawan pada 1613, Sultan Iskandar Muda, raja Aceh yang tersohor, menghantar Tun Sri Lanang (penulis manuskrip Salatussalatin – Sejarah Melayu) ke Samalanga sebagai ‘Hulubalang’ dan penguasa di rantau Samalanga.

Tun Sri Lanang meninggal di Samalanga pada 1659 dan dimakamkan di Meunasah Lueng, sebuah perkampungan di Samalanga. Cicit-cicit keturunan penulis Sejarah Melayu tersohor itu sampai sekarang masih tinggal di Samalanga.


Ada sesuatu yang mencuit hati. Mereka berkongsi gembira, riang dan tawa sambil menyaksi seorang teman yang bekerja menampal botnya yang bocor.

Tiga ibu dan dua anak kecil digubuk usang.

Keriangan terpancar pada wajah anak kecil Desa Meuraksa ini semasa lensa kamera dihadapkan ke arahnya.
 Sejarah pilu kehadiran tsunami yang menghempas pesisiran Panteraja, Meureudu, Samalangan dan daerah-daerah lain sepanjang pantai timur tanah Aceh ini 26 Disember 2004 dulu sepertikan tidak lagi menjadi igawan ngeri nelayan dan penduduk di pantai Meuraksa hari ini.

Beribu penduduk sepanjang pantai mukim Meuredu, Panteraja, Samalanga dan Peudada maut apabila tsunami menggulung bumi Aceh dulu.

Ketika pantai Meuraksa saya kunjungi pagi itu, kumpulan 20 nelayan hadir di pinggir pantai – melakukan urusan harian – membaiki bot yang pecah dan bocor, menampal jaring yang bocor dan rabak atau mengemaskan peralatan bot yang berselerakan.

Di gigi air tiga nelayan membantu mendaratkan sebuah bot berhaluan tinggi, perahu khusus seni Aceh. Tiga orang ibu berkumpul di pondok usang bawah pohon rhu di pinggir pantai, kumpulan kanak-kanak kecil bermain riang di pasir pantai – suatu panorama yang menceritakan keriangan penduduk di alam Meuraksa.
Nelayan Aceh dalam aksi tersendiri di pantai.
Bekerja sambil bercerita. Demikian kehidupan penuh tenang kaum nelayan.


Speda tua demikian berguna dan amat berjasa untuk seorang penduduk di Desa Meuraksa, Meureudu, Aceh.

Seorang ibu muda dengan dua anaknya di pantai sambil menanti kepulangan suami yang turun ke laut malam tadi.

Nelayan dan perahunya bersama laut yang tenang dan persekitaran alam demikian menyantun.
 
Di pinggir jalan perkampungan kecil menuju ke pantai Meuraksa, penduduk bersantai melihat pengunjung yang datang.
 Musim angin barat baru saja menjenguk pesisiran Sumatra dan nusantara seminggu dua ini. Gelombang dengan alun-alun kecil menampar lembut pesisiran Meuraksa dengan Selat Melaka terbentang luas di depan.


Dua tiga minggu lagi Selat Melaka yang penuh keramat dan menyimpan banyak sejarah perjuangan ummat Melayu di seluruh nusantara bergelut menghadapi penjajahan golongan manusia durjana Barat selama 500 tahun dalam sirah silam, akan berubah dengan pukulan angin kencang dan samudera yang bergelora.

Mampukah nelayan-nelayan kecil ini bertarung dengan gelora Selat Melaka bila angin barat menyunsung keras nanti?
Read more ...

NOTA KEMBARA ACEH: Nelayan Tua Sungai Meureudu



Pondok jermal dipinggir sungai yang terus ditunggu sepanjang tahun oleh Haji Ismail, nelayan tua Sungai Meureudu.
Setiap pagi, tengahari atau petang ketika air sungai melimpah pasang, nelayan tua dari Desa Meureudu (Merdu) ini pasti akan berada di pondok usangnya. 

Di sini dia melabuhkan tangguk jermalnya untuk menangkap udang atau ikan-ikan kecil guna menyambung rezeki di hujung-hujung usianya.

Usianya kini sudah melangkah 85 tahun. Tenaganya tidak sekuat dulu seperti ketika mudanya bilamana perairan Selat Melaka sepanjang pesisiran tanah Aceh diharunginya. 

Rangka-rangka tulang terbonjol keluar dan lekuk-lekuk dalam pada daging di pangkal lehernya menghadirkan bukti bagaimana dia bekerja keras membanting tulang sepanjang mudanya untuk mencari rezeki.

Lingkaran wajah Haji Ismail, nelayan tua Aceh yang demikian setia dengan alam lautnya.



Tangkul jermal nelayan senja Aceh
Haji Ismail adalah di antara beberapa kerat dari sisa nelayan senja di Desa Meureudu yang terus setia dengan laut. Pondok jermal di pinggir sungai itu adalah sebahagian dari dunia yang penting baginya. Setiap hari dia di sini menunggu kemunculan rezeki-rezeki kecil masuk ke dalam tangkul jermalnya.

Saya meminta nelayan tua itu menunjukan kaedah jermalnya. Dia tidak banyak bertanya. Terus saja dia memutar silang-silang kayu batang pemutar jermalnya menggunakan kedua-dua tangan dan kakinya.

Nelayan tua Meureudu ini masih bertenaga memutar tangkul jermalnya di Sungai Meureudu.
Tangguk jaring jermal 7 X 7 meter di depan terangkat. Cuma seekor dua anak ikan sebesar jari yang muncul. Rezekinya belum lagi datang. Mungkin bila air menyorong surut sejam nanti, banyak ikan yang akan masuk ke dalam tangguk jermalnya.

Saya melihat wajahnya dari dekat. Irasnya penuh tenang dan sabar meski kesempitan hidup dengan rezeki yang serba kekurangan melingkari kehidupannya setiap hari sepanjang tahun.

Saya menelusuri sosok tubuh keringnya. Terlihat satu gelang putih agak lusuh melekat di pergelangan tangan kirinya. “Ini gelang apa?” saya bertanya.

“Ini gelang ketika saya naik haji dulu,” jawab nelayan tua itu.

Meskipun dia menunaikan fardhu haji tahun 1998 dulu, namun gelang tanda jemaah haji itu tidak pernah lucut atau tanggal dari pergelangan tangannya sejak hari pertama dia menyarungkannya 16 tahun dulu sehingga hari ini.

Dan gelang putih yang semakin lusuh itu menjadi bukti bahawa nelayan tua dari Desa Meureudu ini telah menyahut seruan haji ke Baitullah hasil kesungguhan dan kerja kerasnya mencari rezeki sebagai seorang nelayan.
Setelah diangkat cuma seekor dua anak-anak ikan sebesar jari yang melenting-melenting di atas jaring jermal.
Nelayan tua Meureudu, Haji Ismail, bersama alat tangkul jermalnya di pinggir sungai yang tenang.


Read more ...
Designed By